Aksaraloka
By Zahra Dwi Anggreina
Plot
· Pengenalan karakter Aksa
· Kedatangan dan tawaran dari eyang
· Aksaraloka
· Penggambaran dunia Aksaraloka
· Bertemu Juna
· Si tokoh terkemuka desa, Mala
· Pengajar baru, Guru Aksa
· Masalah dengan desa sebelah
· Sekolah umum Dhitaraya
· Kesulitan menjadi guru
· Mala si guru handal
· Korupsi kepala desa
· Character development Aksa
· Rahasia Mala
· Legenda pohon kincir
· Kisah sang developer aksaraloka {Kinara
Dhitaraya}
· Perenungan Aksa
· Konflik Aksa dan Mala
· Cerita Juna
· Akhir cerita. Kembali ke dunia asal
· Aftermath
Sinopsis
“Aku gak bisu! Kenapa kalian ngobrolnya
baku banget sih??”
Rhaksa Wiratama, atau lebih akrab
dipanggil Aksa baru saja lulus SMA dan berumur 17 tahun, tiba-tiba mendapat
tawaran pekerjaan dari eyangnya sebagai pengajar di sekolah yang didirikannya.
Sebagai panduan, eyang memberi sebuah buku tua bersampul kuno, dengan judul
“Djoernal Aksaraloka”.
Ajaibnya, ketika Aksa membuka buku
tersebut, dia malah terbangun di sebuah rumah kuno! Ditambah orang-orang yang
tinggal di rumah itu tak bisa memahami apapun yang Aksa katakan. Bahkan
anehnya, mereka mengira Aksa bisu, karena ‘tak bisa mendengar’ suara Aksa.
Lebih aneh lagi, semua orang disekitarnya berbicara dengan bahasa yang amat
baku seakan mereka tinggal di tahun 1700-an.
Tempat apa itu sebenarnya? Kenapa tak ada
yang bisa mendengar suara Aksa? Apa kaitannya sang Eyang dengan dunia yang Aksa
masuki? Apa isi buku “Djoernal Aksaraloka itu? Untuk mengetahui jawabannya,
silahkan baca sampai akhir!
Chapter 1
“Woy itu depan! Ah elah g****k! Masa gitu
doang ga bisa!”
Di siang hari yang terik itu, terdapat
sekumpulan anak muda bersantai di balai rumah. Karena adanya Wi-Fi gratis serta
dekat dengan toko kelontong, tempat itu dipenuhi oleh para remaja, bagai laron
mengerubungi lampu di malam hari.
Entah karena panas terik matahari atau
kesulitan dan kalah terus terusan di game, mereka terus saja mengumpat dan
berbicara kata-kata kasar.
Dari kumpulan remaja disana, terdapat satu
lelaki yang paling lantang dan keras suaranya. “Heh! A***r. Itu depan!”
umpatnya lagi sambil memainkan game online di handphone-nya, dia duduk bersila
ditambah seplastik es di tangan kirinya. Dia bertingkah laku seakan dia
ketuanya disini, entah karena badannya yang paling besar, atau karena memang
dia yang paling tua disini.
Aksa namanya, Rhaksa Wiratama. Pemuda berumur
17 tahun yang baru saja lulus SMA dan belum memiliki pekerjaan saat ini, dan
malah asik bermain game online. Miris memang.
Dia terus saja mengumpat sambil bermain game
ketika tiba-tiba ada yang mengetuk kepalanya dari belakang, “Woy bisa main ga
si— Aduh!”.
Awalnya dia marah, dia lalu membalikkan
badannya dengan raut wajah geram, tetapi raut wajahnya langsung berubah ketika
dia melihat siapa yang ada di belakangnya yang ekspresinya lebih menyeramkan
daripada wajah geram aksa.
“Eh, teteh, hehehe. Tumben kesini, kenapa
teh?” Ucapnya sambil tersenyum tengil.
‘Tak!’, sendok kayu mengenai kepala Aksa
sekali lagi, sampai membuat dia meringis dan mengelus kepalanya.
Ratih, kakak perempuan Aksa berdiri disitu
sambil berkacak pinggang dengan sendok nasi di tangan kanannya, lalu dia
berkata, “Kamu tuh udah gede, udah lulus terus punya KTP. Masa malah main terus
disini?? Cari kerja sana! Terus, mulut tuh dijaga. Jangan asal bunyi.
Omongannya kasar banget dari tadi”
Tapi, bukannya mendengar ocehan kakaknya, Aksa
malah menggaruk kepalanya dengan santai dan berkata, “Iya iya, nanti cari kerja
iya”, dengan nada malas.
Mendengar jawaban Aksa yang acuh tak acuh,
Ratih hanya bisa menghela napas.
Setelah menghela napas, ekspresi Ratih
menghalus, lalu dia mengulurkan tangannya sambil berkata, “Bapak manggil.
Katanya kamu disuruh pulang, makanya teteh kesini. Di rumah ada eyang, katanya
mau ketemu cucu kesayangannya”
“Eyang? Bapaknya bapak?” Sahut Aksa sambil
meneguk es miliknya.
“Ya iya. Masa ibunya bapak” jawab Ratih.
Aksa tertawa tengil, lalu beranjak bangun dari
duduknya. Tetapi ada satu anak kecil menarik lengan bajunya. “Gamenya belum
selesai A. Hayu selesaiin dulu” ucap anak lelaki itu dengan wajah memelas.
Aksa tersenyum lalu berjongkok di depan anak
itu dan mengelus kepalanya dengan lembut. “Nanti yak, Aa pulang dulu bentaran.
Lagian, ga ada Aa juga Rio bisa kan? Menang lah, pasti.” dia lalu berdiri lagi
dan menepuk pundak anak itu sekali lagi, “Dadah” ucapnya sambil melambaikan
tangannya dan mulai berjalan di samping kakaknya
“Eyang bawa makanan ga ya kira-kira” ocehnya.
“Makanan terus pikiranmu” sahut Ratih sambil
mengetuk bahu Aksa dengan sendok kayu.
Chapter 2
Sesampainya di halaman rumah, Aksa bisa
melihat mobil hitam terparkir di depan rumahnya. Ditambah sepatu coklat besar
yang bertengger di rak sepatu di sebelah sepatu olahraga miliknya.
Melihat itu, Aksa reflek merapikan rambutnya
dan pakaiannya, mencoba agak rapi sedikit di depan eyangnya. “Emangnya eyang
kesini mau ngapain?” ucapnya.
Ratih mengangkat bahu, “Entah. Bapak bilang
mau ada kerjaan buat kamu. Tapi gatau kerjaan apa”
Aksa menganggukkan kepala. Dia pikir, itu
mungkin cuma pekerjaan remeh biasa seperti servis komputer, merapikan dokumen
milik eyangnya, atau hal lainnya yang selalu beliau timpa pada aksa, mungkin
karena Aksa adalah cucu lelaki satu-satunya, itu sebabnya eyang
memperlakukannya dengan spesial.
“Kenapa ga teteh aja yang dikasih kerjaan?
Kenapa ke aku terus?” omel Aksa.
“Ya kan kamu cucu kesayangannya” Ratih
menyahut sambil tersenyum mengejek, “Udah udah. Siapa tau nanti dikasih upah
lagi sama eyang. Turutin aja dek.
—
Setelah melepas sandal, mereka masuk ke
dalam rumah. Disitu dapat terlihat Orangtua Aksa dan Ratih sedang duduk di sofa
ruang tamu bersama Eyang di samping mereka.
“Assalamualaikum” ucap mereka berdua.
Mendengar suara Aksa, Eyang yang tadinya
sedang mengobrol dengan bapak Aksa langsung berhenti, dan mendongakkan
kepalanya, melihat ke arah sumber suara tersebut. Ketika beliau melihat Aksa,
wajahnya langsung sumringah.
“Nah ini, jagoan eyang datang akhirnya.
Kemana saja kamu. Sehat?” Dia berseru sambil menghampiri Aksa dan merangkul
pundaknya.
Aksa yang tak terlalu terbiasa dirangkul
hanya dapat tersenyum pasrah (agak tak ikhlas) dan mengangguk, “Alhamdulillah
eyang, sehat wal afiat”.
“Sini sini. Duduk dulu. Ada yang mau
eyang bicarakan” Eyang menarik tangan cucunya itu lalu mengajaknya duduk.
Karena sofa sudah terisi semua, Aksa mau
tak mau duduk lesehan di lantai, sementara Ratih duduk di sampingnya, dia
penasaran apa yang akan adiknya lakukan kali ini.
Tak berapa lama kemudian, Bapak Aksa
angkat bicara, “Pak. Bapak yakin? Aksa pikirannya belum sedewasa itu pak.”
ucapnya pada eyang.
Aksa keheranan, “Kenapa pak? Emang ada
apa?”
Eyang lalu tersenyum, dan menjelaskan.
“Rhaksa Wiratama. Kemarin eyang dengar kamu sudah berusia 17 tahun. Baru lulus
juga. Tama mau kan ikut ke tempat eyang?”
“Ikut? Maksudnya? Ke Kediri, eyang?” Aksa
terperanjat.
Eyang hanya mengangguk pelan. Lalu Aksa
langsung reflek berdiri.
Dia lalu menghampiri eyangnya dan
bersimpuh di depannya, “Aksa cari kerjanya disini aja eyang. Gausah jauh jauh”
Tetapi Eyang malah menggeleng, “Tidak.
Penerus Eyang harus ikut. Kamu cucu lelaki satu-satunya. Dulu Eyang pernah
meminta ayahmu. Tapi ayahmu menolak. Jadi kamu sekarang harus ikut dengan
eyang, jadi pengajar di sekolah yang eyang bangun”
Aksa menengok ke arah bapaknya. Disitu
bapaknya hanya bisa menunduk pasrah. Lalu Aksa menghadap Eyang kembali. “Tapi
eyang, Aksa kurang bisa jadi guru. Kalau muridnya malah tambah bodoh gimana
eyang”
Eyang justru tertawa dan menepuk pundak
Aksa, “Eyang yakin Tama bisa. Begini, pikirkan saja dulu. Eyang beri waktu
sampai nanti sore. Selama kamu mempertimbangkan, coba baca buku Eyang”
Eyang lalu membuka tasnya, dan
mengeluarkan buku tua bersampul coklat tua. Beliau lalu memberikannya pada
Aksa.
Aksa menerima bukunya dengan tangan agak
gemetar. Dia menengok tetehnya dengan ekspresi kurang yakin. Tapi Ratih hanya
menepuk punggung Aksa sambil mengacungkan jempol, menyemangati.
Aksa menghela napas. “Aksa izin ke kamar
dulu” ucapnya sambil beranjak bangun.
“Nanti bukunya dibaca nak” Ucap eyang.
Aksa mengangguk lalu mencium tangan
kakeknya. Setelah itu, dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Lalu
menghempaskan dirinya ke kasur di tempat tidurnya. Berusaha memikirkan apa yang
harus ia lakukan
Chapter 3
Sembari menatap langit-langit kamarnya, Aksa
mengeluh dengan suara pelan. “Kenapa ga teh ratih aja tuh b****t. Harus banget
aku. Mager a***r” umpatnya dengan wajah ditutupi bantal agar suaranya tak
kedengaran.
Bisa dibilang dia kesal karena selalu saja dia
yang dimintai tolong oleh kakeknya. Sedari kecil sampai sekarang. Hanya karena
dia cucu lelaki satu-satunya.
“Tama tama j****k, nama aku Aksa!” Keluhnya.
Dia tak suka dipanggil Tama. Nama yang diberi oleh eyangnya yang berarti ‘anak
lelaki’ itu benar-benar mengindikasikan kalau kakeknya menaruh harapan besar
pada Aksa.
Aksa menghela napas lagi, lalu bangun, dan
beranjak ke kamar mandi di samping kamarnya. Mencoba menenangkan diri sambil
mencuci wajahnya.
Setelah mencuci wajahnya, dia lalu berbaring
lagi dan membuka handphonenya. Menandakan pukul 17.28, yang berarti sebentar
lagi matahari akan terbenam, dan dia pasti mau tak mau akan diseret kakeknya ke
Kediri. Dia melirik ke arah buku pemberian eyang.
Aksa memperhatikan buku tersebut penasaran.
Menelusuri sampul buku dan menatapnya rinci. Terdapat tulisan rapi di atas
sampul buku, ‘Djoernal Aksaraloka’. Di sekitarnya terdapat ukiran rapi
berbentuk daun dan pohon.
Aksa membuka bukunya sambil berkata, “Apaan
dah, buku cerita? Kayak boca—”
Ketika dia sedang mengoceh, ucapannya
terpotong ketika tiba-tiba cahaya putih menyilaukan keluar dari buku dan
menusuk matanya. Sangat terang sampai dia merasa terbutakan.
Butuh beberapa menit sampai tiba-tiba cahaya
tersebut menghilang, dan Aksa menormalkan matanya kembali. “Apa— barusan”
ucapnya bingung sambil mengusap matanya perih.
Ketika dia membuka mata dan melihat
sekeliling, dia semakin kebingungan.
Tempat ini bukan kamarnya.
Dia melihat sekeliling dengan raut wajah
kebingungan, tak ada poster batman yang biasa dia lihat di dinding kamarnya.
Tak ada meja belajar dan laptop kesayangannya yang biasa berada di samping
kanan kasurnya. Tak ada gitar akustik miliknya yang biasanya bersandar di
samping lemari.
Semua itu berganti menjadi perabotan kayu
sederhana. Kasur empuk bermotif hitam miliknya berganti menjadi ranjang bambu
dengan kain lusuh diatasnya. Meja belajarnya berganti menjadi meja kayu
sederhana dengan banyak tanaman dan bunga diatasnya. Gitar miliknya berganti
menjadi kapak besar yang ujungnya kelihatan sangat tajam. Lantainya hanya
berupa anyaman rotan. Dengan langit langit berupa bongkahan kayu yang disusun.
“Dimana ini??” teriak Aksa panik. Dia
membuka buku pemberian eyang, tetapi nihil. Tak ada cahaya ajaib menyinarinya
lagi.
Dia memutar-mutar buku, mengguncangkan keras,
sampai melempar buku itu ke lantai agar buku itu mau ‘bersinar’ kembali.
Tapi sayangnya. Tak ada perubahan apapun. Dia
masih di tempat yang sama. Dia menggaruk kepalanya, mencoba mencari cara agar
bisa kembali ke situasi yang setidaknya bisa dia mengerti. Dia berjalan dan
memperhatikan semua barang yang ada di ruangan itu.
“Kok— ini dimana— Gimana bisa— LAPTOP SAMA HP
AKU MANA!” dia mulai berteriak panik.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari
luar. Aksa yang awalnya panik, semakin bertambah panik. Dia langsung reflek
mengambil kapak besar yang ada di samping pintu dan berpose kuda-kuda.
Pintu terbuka, dan seorang lelaki tinggi
berbadan agak besar memasuki ruangan. Dia belum menyadari adanya Aksa, lelaki
itu malah sibuk mengangkut karung besar dengan tangannya yang penuh lecet dan
warna merah hati.
Melihat itu, Aksa bergidik. Dia curiga di
dalam karung itu terdapat mayat hidup. Tapi, dengan badan gemetar dan masih
dengan raut wajah kebingungan itu dia tetap memegang erat kapak itu untuk
berjaga jaga.
Sambil bersiul, lelaki berbadan besar itu
menaruh karung yang dia bawa di samping meja kayu. Tetapi, pergerakannya
berhenti ketika dia melihat ada buku asing tergeletak di lantai.
Lelaki itu melihat buku itu keheranan. Sambil
membawa dan menimbang nimbang buku itu, dia lalu membuka bukunya. “Ini bukan
buku milikku” ucapnya. Dia langsung melihat ke sekeliling. Sialnya, dia
langsung menyadari keberadaan Aksa dibalik pintu yang sedang memegang kapak
besar itu.
Dia lalu berjalan mendekat perlahan ke arah
Aksa. “Kau siapa?” ucapnya, “Sedang apa kau di rumahku?”
Aksa mempererat pegangannya pada kapak
tersebut. Sungguh kentara kalau dia takut. “Kamu yang siapa?! Datang-datang
bawa karung. Itu isinya mayat ya! Orang gila macam apa yang naro kapak di
kamarnya!” oceh Aksa sambil meninggikan suaranya, mencoba mengintimidasi lelaki
itu.
Tetapi, anehnya lelaki itu malah mengerutkan
dahinya. “Aneh” ucapnya. “Jawab pertanyaanku, kau siapa?” tanyanya sekali lagi.
Aksa bingung. 'Orang ini. Budek ya? Udah
dijawab tadi. Emangnya dia ga denger?’ pikirnya.
Lelaki besar itu lalu melangkah lebih dekat ke
arah Aksa. “Kau tuli ya? Apa kau mengerti ucapanku?” Dia masih menatap Aksa
tajam.
Aksa kesal lalu berkata “Barusan aku ngomong
gitu hey! Ga bener ni orang!”
Melihat ekspresi kesal Aksa, lelaki berbadan
besar itu mengerutkan keningnya. “Ekspresimu berubah. Artinya kamu mengerti apa
yang kukatakan sedari tadi” simpulnya.
Aksa yang tadinya protes. Langsung mendongak
dan menatap wajah lelaki itu. “Emang kamu ga denger aku ngomong dari tadi?”
ucapnya bingung.
Tetapi, dari penglihatan lelaki itu, mulut
Aksa tidak bergerak sama sekali. Hanya ekspresinya yang terus saja berubah
sedari tadi.
Lelaki itu lalu berkata, “Begini. Kalau kamu
mengerti apa yang kukatakan, anggukkan kepalamu. Mengerti?”
Aksa lalu menganggukkan kepalanya tanpa ragu.
Melihat hal itu, Lelaki itu tersenyum. “Untunglah. Setidaknya aku tahu kau
tidak tuli” ucapnya sambil mengelus dada.
“Kenapa kau masuk ke rumahku?” tanyanya dengan
nada serius.
Aksa berpikir sejenak. Dia tak tahu bagaimana
cara menjelaskannya. Alhasil dia hanya menggelengkan kepalanya sambil
mengangkat bahu.
Lelaki itu ikut bingung. “Kau aneh” ucapnya.
“Ah! Aku tahu. Ayo, ikuti aku. Aku tahu siapa yang mungkin bisa mengerti
situasinya.” Dia menarik lengan Aksa dengan mudahnya.
“Heh tar dulu! Jangan asal tarik!” Aksa
memberontak. Dia menampik tangan lelaki itu lalu mundur agak jauh. “Aku bahkan
ga tau kamu siapa!” ucapnya.
Lelaki itu menatap Aksa bingung. Lalu dia
tersenyum hangat, sangat jauh berbeda dengan perawakannya yang besar dan
terkesan sangar. “Raut wajahmu. Kau pasti kebingungan. Melihat kondisimu,
sepertinya kau datang kesini bukan untuk berbuat hal buruk” dia menaruh kapak
di meja dan mengangkat kedua tangannya. “Aku tak akan melukaimu. Namaku Naren.
Arjuna Narendra. Aku tahu siapa orang yang cukup pintar di sekitar sini.
Mungkin dia bisa membantumu, oleh karena itu, ayo ikuti aku.”
Naren lalu membuka pintu dan berjalan keluar,
meninggalkan Aksa di dalam ruangan itu, sendirian, membiarkan aksa berpikir
sejenak apakah dia harus ikuti Naren atau tetap diam di sana seperti patung.
Aksa lalu mengacak rambutnya frustasi,
“P******n!” umpatnya, lalu dia mengambil buku ‘Djoernal Aksaraloka’ lalu ikut
melangkah keluar rumah.
Comments
Post a Comment