New Family?

By Rati Pratiwi


Perkenalkan, Karalyn Laurestine namanya. Dulu, keluarganya lengkap, dapat dikatakan cemara. Tapi, semenjak Bunda dan abangnya meninggal karna kecelakaan kehidupan nya berubah seketika. Kara tinggal sendirian dirumah, Ayahnya sering ada kerjaan di luar kota.


**


Hari ini Ayahnya pulang, Kara menunggu kedatangan ayahnya dari siang tadi sampai langit berubah menjadi warna jingga.


Brumm


Suara mobil memasuki garasi, Kara berlari menghampiri ayahnya, Abimana. Dengan senyum ceria.


"AYAHHH!!" Kara langsung memeluk Abimana, Abimana membalas pelukan Kara tak kalah erat.


"Ayah kangen Kara, putri Ayah" 


"Kara juga kangen Ayah, Ayah jangan pergi pergi lagi ya? Kara sendirian dirumah, Kara kesepian." kata Karalyn.


"Iya sayang, Ayah akan disini terus sama Kara." 


"Ayah, ini Kak Ara?" tanya Aluna.


Kara terkejut mendengar nya, ia sampai tidak menyadari kalau ada orang lain disana.


"Ayah, mereka siapa? kenapa perempuan itu manggil Ayah, Ayah juga?" tanya Kara penasaran.


"Kara, ini keluarga baru ayah. Ada bunda Lisa, Abang Januar, Kakak Kanaya dan Adek Aluna." jawab Abimana.


Deg!


Kara mematung mendengar nya, matanya sudah berkaca-kaca.


maafin Ayah..., Kara


Kara langsung masuk kedalam dan mengurung diri di kamar. Belum ada 3 bulan bundanya meninggal tetapi ayahnya sudah menikah lagi.


secepat itukah ayah lupain Bunda?


Dadanya sangat sesak seperti terhimpit sesuatu yang kasat mata.


Ayahh: Mulai sekarang kamu tinggal sama keluarga barunya ayah ya. Ayah tau pasti kamu kaget, tapi ayah punya alasan kenapa ga pernah bilang. Kamu punya keluarga baru sekarang dan gak akan kesepian lagi.


Kara membaca chat dari ayahnya dengan air mata yang tak berhenti mengalir, kenapa rasanya se sakit ini.


Ayah, ayah bilang cuma bunda satu-satu orang yang ayah cintai. Terus kenapa tiba-tiba ada orang lain yah?


Ayah jahat!


Dia mengambil poto keluarganya yang ada Bunda Asha, Ayah Abimana, Abang Habian dan Karalyn. Di poto itu mereka sangat bahagia.


"Bunda, Kara kangen bunda. Ayah jahat bunda. Bang Bian... Kara kangen" Karalyn memeluk poto itu dengan sayang.


**


Makan malam pun tiba, semuanya berjalan dengan normal sampai tiba-tiba Luna berkata. 


"Ayahh, adek boleh gak tinggal dikamar yang ujung itu? kamarnya luas, adek suka"


itu kamarnya abang bian..


"Iya, boleh adek" jawab Abimana.


"YEYY!! makasi ayahh" 


"GAK, GAK BOLEH!!! itu kamarnya Bang Bian Ayah! Gak boleh ada yang nempatin kamar itu selain aku!" kata Kara tak terima.


"Kamarnya abang juga gaada yang isi, biarin aja Luna tinggal disana" kata Abimana.


"Tapi Kara kalau kangen Abang suka tidur dikamar itu ayah!" 


"Yang udah gaada ngapain di ingat-ingat lagi? Abang mu juga gaakan balik lagi kan? serem kalo balik lagi" kata Lisa.


"Tutup mulut lo, Lisa!" kata Kara dengan emosi.


"KARA!! jangan kurang ajar! itu bunda kamu sekarang, cepet minta maaf!" 


"Gamau! Dia yang mulai duluan ayah!" 


"Terserah kamu! cape ayah bilangin nya."


Janu dan Aya diam saja melihat perdebatan mereka. Sudah mereka duga pasti akan begini.


"Luna angkut aja barang-barang nya ya? Janu tolong bantu adeknya." kata Abimana dengan tampang tak berdosa nya.


Kara yang mendengar itu diam saja. Hatinya sakit, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah itu semuanya meninggalkan meja makan, kini hanya tersisa Kara dan Aya.


"Maafin bunda gue sama adek gue ya, Ra?" kata Aya.


"Gapapa, Kak. Lo ga perlu minta maaf, bukan salah lo juga." setelah mengucapkan itu Kara pergi ke kamarnya.


***


Sebulan pun berlalu, banyak yang sudah terjadi di rumah ini. Luna dan Lisa melakukan berbagai cara agar Abimana membenci dan mengusir Kara dari rumah. Abimana perlahan lahan mulai mengabaikan Kara, sekarang dia lebih perhatian dah peduli kepada Luna. Abimana lebih kasar sekarang.


Aluna: Gue akan buat lo di benci ayah! 


Kara: Silahkan, gue ga takut!


Aluna: Wow, kali ini ayah akan benci lo Kak.


Tcih, mau main main dia. Kara mempunyai firasat buruk untuk inu. Semoga Luna ga melakukan hal yang bisa merugikan Kara.


Sesampainya di rumah, Plak

Ya, itu suara tamparan. Abimana menampar putrinya sendiri, Kara.


"Ayah? salah Kara apa?" Kara menatap mata Abimana. Tatapan mata Abimana berbeda dengan biasanya, tidak ada lagi tatapan teduh untuk dirinya.


"Salah kamu itu karena udah berani bully Luna. Kenapa kamu bully Luna?! pernah ayah ajarin kamu kaya gitu?"


"Ayah, Kara gak ngerti apa yang dibilang Ayah tadi. Kara gak pernah bully Luna!" bela Kara.


"Trus itu apa HAH?! liat wajah Luna! ulah kamu kan itu?" tuduh Abimana.


Benar, Luna menangis di pelukan Lisa dan di wajahnya ada banyak lemab dan bajunya sobek sobek. Wah, pinter juga acting dia.


"TAPI BUKAN KARA PELAKUNYA!! bisa aja dia nyakitin diri sendiri buat fitnah Kara!!"


"Hiks.... engak Yah! Kak Ara yang bully Luna pas disekolah tadi." Luna menangis sesenggukan. Cocok buat masuk indosiar ini si Luna.


"LO JANGAN FITNAH YA ANJING! ADA BUKTINYA KALO GUE YANG BULLY LO?!" 


"Halah, ngaku aja. Kamu kan yang buat anak saya jadi begini? kamu benci kan sama anak saya?" Lisa ikut menimpali.


"UDAH GUE BILANG BUKAN GUE PELAKUNYA ANJ!! LO SEMUA NGERTI BAHASA MANUSIA GASI???!?!" 


Plak


Abimana menampar Kara untuk yang kedua kalinya. Sudut bibir kara sampai mengeluarkan darah.


Bukan, ini bukan ayah. ayah yang aku kenal ga kasar sama anaknya. ini bukan ayah Abimana.


"JAGA BICARA KAMU KARA!! ayah gak ngajarin kamu untuk gak sopan sama orang tua!!"


"Ayahh, tolong percaya sama Kara... bukan Kara pelakunya. Ayah percaya kan sama Kara?" 


Abimana tak sanggup menatap mata Kara. Kara menatap nya dengan penuh luka. Oh God, apa yang telah ia lakukan pada putrinya itu.


Janu dan Kanaya hanya menonton keributan itu, sebenarnya tidak tega melihat Kara di fitnah seperti itu. Adeknya, Luna, memang suka cari masalah.


"Terserah kalian semua mau percaya atau gak, gue gak peduli!" setelah mengatakan itu Kara berjalan keluar rumah.


"KARA! MAU KEMANA KAMU?!" teriak Abimana memanggil Kara, namun ta di gubris oleh Kara.


Sekarang Kara berada di tempat bunda dan abangnya, di pemakaman. Makan Bunda dan Abang bersebalahan.


"Assalamualaikum Bunda, Abang. Kara datang" kara mengelus baru nisan bernama Asha Halisa itu, nama yang telah melahirkan nya ke dunia. Tempat ini lah yang Kara datengin ketika lagi gak baik baik aja.


"Bunda, Bunda pasti udah tau ya kalau ayah udah nikah lagi? sekarang bukan Kara satu satunya putri Aya nda.... Ayah berubah Nda. Ayah juga udah sekarang kasar sama Kara. Perih nda. Tapi hati Kara lebih perih." 


Kara mengelus baru nisan yang satunya, abangnya Habian Arkananta. 


"Abang, kalo ada bang Bian pasti Abang yang lindungin Kara dari amukan ayah kan? pasti Abang yang jadi perisai Kara" Karalyn tak sanggup menahan air matanya yang daritadi ia tahan.


Setelah Karalyn puas mengeluarkan unek-uneknya, Kara pun meninggalkan tempat pemakaman . Daritadi HP nya bunyi terus, pasti mereka pada nyuruh Kara pulang.


Kak Aya: Ra, ayo pulang. Kakak obatin luka kamu, ya?


Bang Juna: Pulang, Ra. Abang tunggu.


Ayahh: Kara, pulang ya sayang? maafin ayah. Maaf ayah udah kasar sama kamu, ayah kelepasan.


Kara tersenyum membaca chat dari Aya  dan Juna seenggak nya masi ada mereka yang peduli sama Kara. Aya dan Kara lumayan dekat, ternyata Aya dan Juna gak seburuk yang Kara pikir.


Kara terus berjalan menjauh dari pemakaman, angin sore mulai dingin, tetapi hatinya tetap terasa hangat setelah mencurahkan semua yang ia rasakan. Meski perih, ada sedikit rasa lega setelah berbicara dengan Bunda dan Abangnya. Kara merenung di bawah pohon besar yang berada tak jauh dari makam keluarganya. Pikirannya kacau, namun ada satu hal yang mulai ia sadari—seberapa keras pun ia mencoba, ia tak bisa mengubah kenyataan bahwa ayahnya telah berubah.


Drrt... drrt...


Ponselnya kembali bergetar. Kali ini ada pesan baru dari Aluna.


Aluna: Kak Kara, tolong pulang. Aku nyesel Kak, aku cuma pengen deket sama Ayah... aku ga pengen semuanya jadi gini.


Kara menatap layar ponselnya. Sesaat dia terdiam. Rasa sakit di hatinya masih terlalu besar untuk memaafkan begitu saja. Tapi, ada perasaan lain yang muncul. Sebesar apa pun kemarahannya, ia tak bisa benar-benar membenci adiknya yang masih kecil dan bingung menghadapi keluarga baru. 


"Ya Tuhan..." bisik Kara pelan, air matanya kembali mengalir.


Setelah beberapa menit menenangkan diri, Kara memutuskan untuk berdiri. Dia tahu ini bukan tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi tentang menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri. Keluarga mungkin tak lagi sempurna seperti dulu, tetapi Kara tahu dia tak bisa terus menerus lari.


Dia mengusap air matanya, memandang sekali lagi makam Bunda dan Abangnya, lalu berbisik, “Kara akan baik-baik aja, Bunda, Bang Bian. Kara akan kuat...”


Setelah itu, Kara memutuskan untuk pulang.


Sesampainya di rumah, suasana hening. Abimana, Aluna, Lisa, Kanaya, dan Januar semua sedang duduk di ruang tamu. Mereka tampak cemas, terutama Aluna yang masih menangis kecil di samping Lisa.


Kara masuk dengan langkah pelan. Semua mata langsung tertuju padanya. Ayahnya segera bangkit dari tempat duduknya, berjalan menghampiri Kara.


"Kara..." Abimana menatap putrinya penuh penyesalan. "Ayah minta maaf. Ayah kelepasan. Ayah ga seharusnya bersikap kasar sama kamu."


Kara menunduk sejenak, lalu menatap ayahnya. "Ayah... Kara cuma pengen dimengerti. Bunda baru meninggal, Abang juga, tapi semuanya berubah terlalu cepat. Kara belum siap."


Abimana mengangguk pelan, air mata menggenang di sudut matanya. "Ayah ngerti sekarang, Kara. Maafkan Ayah... Maafkan kami semua."


Aluna yang duduk tak jauh segera berlari ke arah Kara dan memeluknya erat. "Maaf Kak... maafin Luna, Luna cuma pengen disayang juga sama Ayah..."


Kara membelai rambut Aluna pelan, menahan tangisnya sendiri. "Iya, Aluna... Kakak ngerti. Kita mulai dari awal lagi, ya?"


Aluna mengangguk sambil menangis dalam pelukan Kara. Lisa, yang menyaksikan itu, tampak menyesal dan menatap Kara dengan penuh permohonan maaf. Meski hati Kara masih terluka, ia tahu ia harus memberikan kesempatan untuk keluarga barunya ini.


Kanaya dan Januar yang dari tadi diam, akhirnya tersenyum lega. Mereka mendekat dan ikut bergabung dalam momen itu, membuat suasana jadi lebih hangat dan penuh harapan.


Malam itu, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Kara merasa bahwa meski keluarganya tak lagi sama, mereka masih bisa membangun sesuatu yang baru. Sesuatu yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya tetap bertahan.


Kara tahu jalan ke depannya tidak akan mudah, tetapi dengan sedikit keberanian dan cinta, dia percaya keluarga barunya ini akan menemukan cara untuk saling mengerti dan menjaga satu sama lain.


Ending

Comments

Popular posts from this blog

Best Friend

Dari Benci Jadi Cinta

Sompral